Beberapa waktu yang lalu aku menulis tentang Didin, seorang teman yang terkena kanker usus besar, dan usahaku bersama beberapa teman untuk menggalang donasi untuk Didin. Seminggu kami berusaha mengumpulkan donasi untuk Didin, dan alhamdulillah, terkumpul sejumlah Rp. 5.253.500,00. Syukur tak terkira, bahwa teman-teman yang akhirnya kami colek satu persatu bersedia untuk berpartisipasi. Bukannya tak ada kendala, namun hal itu tak menghalangi semangat kami untuk terus nyolekin temen, meski ada juga yang nggak kenal siapa Didin itu. Ada cerita sedih ketika aku berkomunikasi dengan salah satu teman menggunakan WA, sebut saja namanya Inem. Dia nyolek seorang teman via BBM. Inem nyolek si temen itu dikarenakan ya... secara finansial si temen itu lebih dari cukup, malah mungkin melimpah, berdasarkan apa yang sering dia omongin ke temen-temen yang lain. Tapi apa coba yang dibilang si temen itu?
"Kalau sudah parah gitu, kenapa nggak doa minta mati aja?"
Marah, jengkel, kecewa, sedih, bercampur jadi satu. Kok tega ya, ada temen yang ngomong kayak gitu? Kalau toh emang nggak mau partisipasi kenapa juga omongan kejam kayak gitu keluar dari mulutnya? Nggak bisakah menggunakan kalimat sopan jika ingin menolak?
Anyway... tinggalin aja si temen yang nuraninya tak bisa berbicara. Semoga Alloh mengampuni segala apa yang dia ucapkan maupun dia lakukan. Jumat, 27 September 2013 yang lalu, Aku dan Naning ngumpul di baitul maal yang sudah kuhubungi. Mestinya sih Ayiek, suaminya Naning yang berangkat, tapi dianya lagi tugas luar. Fauzul, seorang teman yang sedang cuti akhirnya bergabung dengan kami mengunjungi Didin. Aku, Naning, Fauzul, Mbak Eni dan Pak Amir dari baitul maal sampai ke rumah Didin sekitar jam 9.15. Sesampai kami di sana Ibu Didin lah yang menyambut kami. Dan saat Didin keluar, aku dan Mbak Eni hanya bisa berpandangan. Speechless melihat kondisi Didin. Didin yang kukenal bertubuh tambun, sekarang sangat kurus. Aku tidak mengenalinya kalau dia tidak bersuara. Matanya cekung, kulitnya pucat, sedikit menghitam pada mulutnya, dan saat dia bersuara sedikit pelo, kalau orang jawa bilang. Aku sampai tidak bisa menangis. Hanya sesak di dada yang hadir saat itu.
Didin... semangat hidupnya masih sangat tinggi. Dia tetap punya keinginan untuk sembuh. Dia masih punya keinginan untuk bekerja. Dia masih punya keinginan untuk membalas kebaikan teman-temannya dengan bertahan hidup. Aku yang biasanya ceriwis ngobrol, saat itu tak bersuara sama sekali sampai Didin pun mencandaiku," Fa,... kok diem aja? Sakit gigi?"
Untuk tersenyum pun aku merasa kesulitan. Rasanya sukar untuk menarik bibirku membentuk sebuah bulan sabit di bibirku saat aku menatap Didin.
Setelah beberapa saat ngobrol ngalor ngidul, Fauzul lah yang menyampaikan donasi tersebut pada Didin. Dengan mata berkaca-kaca Didin menerima dan gantian, dia yang speechless. Saat hendak memotret pun, aku sebenarnya tak tega. Namun ini menjadi bukti bahwa donasi telah tersalur. Yang ku upload di FB beberapa waktu yang lalu, kupilih foto yang paling blur. Aku sungguh nggak tega teman-teman melihat kondisi Didin seperti itu.
Mungkin, aku akan membuka dompet donasi untuk Didin session kedua. Seperti sinetron ya, ada session duanya? Ini karena permintaan teman-teman yang kemarin belum sempat transfer. Semoga Alloh memberikan rizki yang lebih banyak lagi untuk para teman yang sudah berpartisipasi.
Semua sayang kamu Din, percayalah, Alloh yang memberimu penyakit ini dan hanya Alloh lah yang memberikan kesembuhan untukmu. Bertahan Din... Berjuanglah untuk melawan kanker ini. Kami semua berdoa untukmu.
Minggu, 29 September 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih