Ini masih tentang dia. Tentang perasaan rindu yang membuncah. Tentang keinginan-keinginan yang tak tersampaikan. Tentang keikhlasan yang yang masih timbul tenggelam datangnya. Tentang pertanyaan-pertanyaan mengapa aku harus kehilangan dua orang tuaku sekarang.
Bapak pergi di umurku yang ke 23. Adikku umur 18 tahun dan 15 tahun saat mereka harus kehilangan Bapak. Masa-masa dimana kami harus prihatin seprihatin-prihatinnya. Aku masih skripsi, Dik Nisa sedang mulai masuk kuliah, dan Dik Rahma sedang mulai SMA. Semua membutuhkan biaya. Dan Ibu sendirian mencari biaya sekolah untuk kami.
Tanpa punya penghasilan. Hanya mengandalkan pensiunan bapak. Berhutang kesana kemari. Gali lobang tutup lobang. Dan Ibu tak pernah meminta tolong pada siapapun. Sendirian mencoba membesarkan kami. Tanpa tangis. Tanpa merendahkan diri.
Ibu tak pernah mengucapkan kata sayang atau cinta. Aku pun jarang dipeluknya. Jarang ia mengucapkan kata dengan lemah lembut. Serba lugas. Tanpa basa basi. Namun tulus. Dan sebuah ketulusan itu tak pernah dikatakan bukan? Kadang aku merasa Ibu terlalu keras. Tapi sekarang aku tau mengapa ia tak pernah berlemah lembut. Ia ingin aku kuat. Itu keyakinanku.
Semuanya terpahat jelas di mataku. Ketika Ramadhan, kami lebih sering berkegiatan bersama. Apalagi saat anak-anak berlibur Di Semarang. Ke masjid, cari takjil, atau bahkan sesekali bukber di luar rumah. Aku masih mengingat senyumnya, tawa lepasnya yang riang, dan tatap matanya yang sering menyelidik masih selalu melintas di depan mataku.
Hari-hari terakhirnya yang ceria. Pulang shalat subuh bersama para sahabat. Seorang sahabatnya bercerita betapa bahagianya ia mempunyai anak-anak seperti kami. Ia membanggakan kami. Satu hal yang sama sekali tak pernah kami dengar. Kami ternyata menjadi kebanggaannya.
IKhlas memang bukan lagi sebuah kata. Bahwa sebenarnya cinta adalah ketika kita berani melepaskannya. Mataku masih sering tergenang air mata. Isakku pun masih sering terlontar. Sedu sedan masih sering hadir di malam yang larut. Saat aku menyadari aku hanya bisa mengenangnya. Tak bisa terulang lagi.
Jika hidup ini seperti sebuah komputer, aku ingin merestart dan mengulang banyak hal indah bersamanya. Men-delete kesedihan atau duka yang pernah aku torehkan, lalu mengedit atau men-skipnya. Namun tak sesederhana itu.
Ibu ...
Aku yakin kau bahagia di sana. Bersama bapak. Bersama Sang Pencipta. Di pangkuan-Nya kau akan nyaman dan aman. Allah bersamamu Bu... Dan maafkan aku, jika aku belum sepenuhnya mampu melepasmu ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih