Seminggu lalu, Kakak pulang sekolah dengan muka ditekuk. Biasanya masuk rumah mengucap salam dengan suara yang ceria.
"Assalamualaikum."
Adek yang sedang maem pun memandang saya, kemudian turun dari kursi menyambut kakaknya. Tanpa memandang Adeknya, Kakak langsung masuk kamar, sementara Adek hanya memandang punggung kakaknya. Mungkin kecewa, ditegur pun enggak.
"Kakak marah po?"
Saya hanya tersenyum dan meminta Adek untuk melanjutkan makannya. Adek pun makan sambil bercerita seharian di sekolah ngapain aja. Nggak berapa lama, Kakak pun menghempaskan tubuhnya ke kursi di sebelah saya. Namun masih terdiam. Biasanya sih, begitu ketemu saya, dari mulutnya akan keluar cerita seru sepulang sekolah.
"Makan, Kak?" tawar saya. Dia hanya diam.
"Kakak kenapa to?" tanya Adek.
"Aku tuh lagi kesel!"
"Kesel kenapa?" tanya saya. Dia beranjak mengambil piring dan sendok, namun urung mengambil nasi. Kakak kembali duduk di kursi sebelah saya.
"Anak laki-laki itu lho."
"Kenapa?"
"Membully orang kok jadi hobby. Sukanya ngatain orang nggak enak. Nggak mau ngalah, seenaknya sendiri. Jadi laki-laki kok nyebelin gitu."
"Yang kasih julukan sama temen-temen yang nggak disukai po?"
"Nggak cuma itu, Nda. Ada anak klas sebelah, namanya S. Katanya ustadzah sih autis. Tapi tetep aja suka dibilang ... maaf ya, idiot. Padahal ustadzah udah berulang kali bilangin kalau si S itu anak yang istimewa. Berbeda, tapi lebih pinter daripada kita."
"Trus si S gimana?"
"Ya diem aja. Trus sukanya ngomong sama anak perempuan. Tapi serba salah juga, Nda. Kalau main sama anak laki-laki di bully melulu. Kalau ngobrol sama anak perempuan dibilang, maaf ya, Nda. Banci. Maunya anak laki-laki gimana sih?"
Kakak berhenti sejenak, ambil minum kemudian melanjutkan ceritanya.
"Aku yang denger aja nyesek. Bayangin, Nda, kalau kita dikata-katain, ga bisa mbales. Udah menghindar, masih aja dikata-katain. Kenapa sih, anak laki-laki tuh nggak pernah bisa ngerasain perasaan orang lain? Coba kalau mereka yang diperlakukan kayak gitu, sakit hati kan? Itu, si S, kalau bolak balik dibilangin maaf ya Nda, idiot sama banci. Kalau terus-terusan main sama anak perempuan yang nggak pernah nyakitin hati kalau ngomong. Kan nggak baik juga. Coba kalau terus jadi terpengaruh kayak cewek, gimana coba? Yang salah siapa? Anak laki-laki kan?"
Dadanya naik turun dan napasnya pun sedikit memberat. Saya melihat matanya berkaca-kaca.
"Aku tuh suka nggak tega, Nda, ngeliatinnya. Anak laki-laki tuh nggak mau ndengerin kata-kata ustadzah. Mereka cuma takut sama Tad Hima. Rasanya aku pengen laporin anak laki-laki itu ke Tad Hima."
"Kenapa nggak dicoba? Siapa tau bisa berubah," kata saya.
"Aku nggak yakin, Nda. Aku udah hafal sifat anak laki-laki tuh. Kalau anak laki-laki klas 8 sama klas 9 tuh baik, melindungi kalau sama anak perempuan. Tapi anak klas 7..."
Kakak nggak melanjutkan kata-katanya. Tiba-tiba Kakak menunjukkan telunjuknya ke Adek. Si Adek bingung dan menatap kakaknya.
"Adek, kamu, kalau jadi laki-laki jangan sampai membully anak perempuan atau temen lain yang berbeda. Itu nyakitin, tau nggak? Aku nggak rela kalau kamu jadi anak laki-laki yang nggak aturan. Awas ya, sampai kamu membully anak perempuan, kamu nggak akan aku maafin. Liat aja ntar, kalau sampai aku denger kamu membully anak perempuan."
"Apa to? Wong aku nggak salah apa-apa kok dimarahin sama Kakak?"
Saya geli dengan ekspresi Adek yang berubah-ubah. Dari mlongo awalnya, speechless, kemudian bertanya dengan wajah melas.
"Aku nggak marah. Aku cuma ngebilangin sama Adek, jadi laki-laki tuh tugasnya melindungi anak perempuan. Jangan karena laki-laki terus seenaknya aja sama anak perempuan. Jadi anak laki-laki itu yang sayang, melindungi. Bukannya malah nginjek."
"Aku nggak pernah nginjek anak perempuan kok."
"Aaahhh ... aku tuh bilangin kamuuuu... Huh!"
Sebelum terjadi perang saudara di meja makan, saya pun meminta si kakak untuk ambil air minum untuk saya. Dan dengan menahan senyum saya meminta Adek melanjutkan makannya.
Saya senang, perkembangan empati dan simpati Kakak sudah berkembang jauh lebih bagus dibanding sebelumnya. Dengan melatih kepekaan pada sekitar, perkembangan kecerdasan sosial akan bertambah, dan menjadikan dia seseorang yang mampu memahami perasaan orang lain.
Multiple intellegence bukan datang dengan sendirinya. Orang tua perlu melatih kepekaan dari segala aspek untuk membuat anak menjadi seseorang yang berkarakter untuk masa depannya. Insya Allah
terima kasih sudah berkunjung ya mbaak ...
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus