Hanya bisa bersyukur untuk hari ini. Ketika dua hari yang lalu saya dikabari bahwa buku yang dikerjakan keroyokan naik cetak, buku solo yang saya kerjakan dua tahun lalu ini akhirnya terbit juga. Banyak hal yang terjadi di masa itu, Lantas kesabaran pun akan membayar segala perasaan negatif saat itu.
Buku ini adalah persembahan seorang anak kepada sang ibu. Sebuah tulisan untuk menyembuhkan lukanya ketika si anak merasa sangat kehilangan. Ketika si anak mengingat bahwa dirinya menjadi tokoh antagonis dalam hidup sang ibu. Penyesalan dan rasa bersalah yang terus saja membebani hati. Hanya ada dua pilihan saat itu. Menulis, atau menyesal tiada henti.
Pengen ngintip karya terbaru saya? Boleh ... Silakan dibaca prolognya ya?
Prolog Ya Allah Aku Rindu Ibu
Buk..
Seharusnya hari ini aku
mengucapkan selamat ulang tahun untuk Ibuk. Ketika menjelang subuh aku
terbangun sementara Ibuk selesai tahajud. Aku akan mendatangi Ibuk kemudian
mencium tangan Ibuk.
“Selamat ulang tahun, Buk.
Semoga sisa umur Ibuk bermanfaat.”
Dan Ibuk, masih dengan
mukena Ibuk pun tersenyum lalu mencium kedua belah pipiku.
“Terima kasih.”
Biasanya begitu ucap Ibuk.
Pendek. Dan mungkin tak peduli berapa umur Ibuk sekarang.
Namun penggalan adegan
itu takkan ada di tahun ini dan tahun- tahun seterusnya. 2 Desember 2014 Ibuk tak lagi berada di rumah.
Tiga bulan sebelumnya, Ibuk telah dipeluk oleh-Nya. Rasanya seperti kemarin,
Buk, aku berada di sisi Ibuk saat tarikan nafas Ibuk terakhir. Seperti baru kemarin
aku membawa Ibuk ke ICU saat tiba-tiba hari itu Ibuk tak sadar setelah bangun
tidur.
Buk...
Tatapan terakhir Ibuk
selalu kuingat. Semenit menjelang Ibuk tak sadar, Ibuk menatapku lama. Sebuah
tatapan perpisahan. Sorot mata Ibuk yang melembut. Seolah ingin berkata,”Ir...
ini terakhir kali aku menatapmu. Baik-baik ya Ir? Jaga dirimu.”
Aku membayangkan, saat
itu kau ingin berkata, ” Ir, aku bahagia bersamamu. Melihatmu tumbuh dewasa.
Bersama anak-anak dan suami yang selalu bersamamu. Terima kasih untuk
bulan-bulan terakhir kau ada untukku.”
Selalu saja seperti ini
jika aku teringat Ibuk. Dadaku menyesak dan mataku memanas. Jika aku tak bisa
mengendalikan diriku, sudah pasti pipiku pun kemudian menghangat. Dari kelopak
mataku meneteslah air mata kesedihan. Air mata penyesalan. Dan di ujungnya
keikhlasan melepas Ibuk pun akan terabai.
Buk...
Tak pernah aku
bayangkan, kehilangan Ibuk akan membuatku seperti ini. Di setiap hariku, di
semua yang aku lakukan, Ibuk memenuhi kepalaku. Hanya duduk di ruang tamu aku
mengingat Ibuk yang selalu tilawah di kursi yang itu. Di sudut itu. Kadang
terngiang tilawah Ibuk yang menggunakan suara falsetomu.
Duh.. Buk..
Baru menulis beberapa
kalimat saja pipiku sudah banjir air mata. Bagaimana jika tulisan ini menjadi
sebuah memoar ya Buk?
Tulisan ini aku
persembahkan untuk Ibuk. Untuk perempuan dimana kakinya adalah surgaku. Untuk
perempuan yang selalu berkata-kata pedas untukku. Sulit berkata-kata manis
untukku.
Untukmu Ibuk, perempuan
yang menjadi 38 tahun madrasahku.
wahhh sepertinya bagus nih buka, jadi penasaran saya.. dimana bisa mendapatkan buku ini? ada kah di gramedia terdekat?
BalasHapusGramedia mgk sktr pertengahan februari, kalau nggak sabar bisa via saya ��
HapusTeh Irfa keren banget udah punya buku.
BalasHapusPasti butuh perjuangan ya teh sampe 2 tahun nulis buku ini.
aku jadi termotivasi teh.
Hayuklah ... Semangat... Semangaattt
HapusBarakallah Mbak 😀
BalasHapusAamiin. Terima kasih mbak Nurin :)
HapusBarakalloh mba Irfa, semoga bukunya bermanfaat yaa. Jadi penasaran mau baca juga ni.
BalasHapus