Pertengahan Ramadhan lalu, saya
menangisi seorang teman. Meski ia bukan termasuk teman terdekat dalam inner
circle saya. Namun menjadikan saya tempatnya mencurahkan hati buat saya ini
sebuah kehormatan.
Ia sedang banyak belajar tentang
hal yang berkaitan dengan agama. Berdialog dengan Tuhan Yang Maha Esa
menjadikannya sebuah harapan untuk mengharap seluruh ridho-Nya. Ekspektasinya
besar untuk bisa berserah dengan segala kesulitannya. Salah satunya adalah
menjaga hati.
Perempuan ini, tahun lalu
bercerita tanpa bisa terbendung lagi. Sampai tengah malam kami berdiskusi.
Tentang komunikasinya dengan sang mantan kekasih di masa remaja. Tentang
keluarganya. Tentang kehormatan sebagai perempuan beristri.
Kemudian teman saya ini berjanji
untuk berhenti berkomunikasi dengan sang mantan. Supaya keluarganya tetap
baik-baik saja. Supaya persoalan yang ada tinggal riak-riaknya. Dan saya merasa
lega ketika kami kembali ngobrol ia berkata bahwa ia sudah berusaha menjauhi
mantan kekasihnya.
Saya menghargai usahanya. Meski
saya ingin sekali mengatakan bahwa hal terbaik adalah benar-benar berhenti
berkomunikasi. Dengan apapun bentuknya. Karena sepenggal hatinya sudah mulai
terhanyut. Di akhir komunikasi itu saya katakan bahwa perempuan beristri adalah
hak suami. Ridho suami adalah pahalanya. Jangan sampai kita sebagai perempuan
melakukan hal-hal yang tak membuat suami ridho. Apapun bentuknya.
Enam bulan setelah obrolan kami
berakhir. Tepatnya pertengahan Ramadhan lalu. Saya dikejutkan oleh sebuah
berita. Teman saya, yang sudah berjanji
untuk berhenti berkomunikasi dengan mantan kekasihnya pergi dari rumah.
Meninggalkan suami dan ibu yang masih tinggal bersamanya. Juga dua gadis yang
mulai beranjak remaja. Untuk memperjuangkan cinta lamanya. Bersama sang mantan
kekasih.
Saya menangis. Ternyata diskusi
sampai tengah malam itu tak mempunyai arti. Saya mengingat dua gadisnya yang
hanya menangis ketika ada orang yang menanyakan sang mama. Saya tak tega
melihat kepala dua anak gadisnya tertunduk malu.
Saya mencarinya. Ketika di
sosmednya tak melihat apapun, saya mencoba mencari clue. Saya pun membuka semua akun pertemanannya. Juga membuka
satu-satu followernya. Setelah sekian lama mencari, saya pun gemetar ketika
melihat sebuah akun followernya.
Ada fotonya di sana. Bersama
seorang laki-laki yang bukan suaminya. Napas saya memberat karenanya. Melihat
pose layaknya seorang remaja. Saya seolah tak mengenalnya. Perempuan yang
selalu bersuara lembut dan halus perangainya. Saya mencoba menghubunginya. Tak
satupun pesan saya terbalas. Yang ada malah ia mulai berani mengunggah
kebersamaannya bersama laki-laki itu di akun sosial medianya.
Beberapa teman menanyakan pada
saya, karena di masa sekolah saya cukup dekat dengannya. Saya tak mungkin
mengatakan tak tahu apa-apa. Saya hanya menjawab saya sudah tahu, namun bukan
kapasitas saya untuk bercerita. Itu adalah sebuah aib.
Tentang sebuah buku.
Kejadian itu membuat flashback
tentang kejadian-kejadian di masa lampau. Baik cerita yang terjadi di sekitar
saya, maupun yang saya alami. Dan membaca buku ini menjadi titik balik saya
untuk berhijrah. Untuk sebuah kehidupan yang lebih baik.
Buku ini berjudul Cinta Semusim,
karya Ifa Avianty. Buku ini berkisah tentang kisah cinta Fenny, Wid suaminya,
dan Haris, teman masa kuliahnya. Tentang Sarah pegawai Fenny, Idris, serta
Alita, istri Idris yang ternyata bersahabat dengan Fenny.
Fenomena bermain hati yang seolah
menjadi gaya hidup diceritakan dengan renyah namun dengan moral of story yang
kuat. Novel ini mengajak pembaca untuk mereposisi pemikiran terhadap pasangan
dan menyajikan sebuah solusi yang bijak dan indah.
Buku ini menjadi sebuah pengingat
bagi saya. Bahwa menjaga diri sebagai seorang istri tak bisa ditawar-tawar.
Boleh kita percaya diri, bahwa kita pasti akan setia pada pasangan. Namun
jangan sampai over PD sehingga membuat kita lengah. Kita tetaplah manusia yang
mempunyai kelemahan. Dan kelemahan itulah kadang dimanfaatkan oleh syaitan
untuk menggoda hati kita.
Potensi main hati ada di
mana-mana. Bahkan dengan orang yang sama sekali tak kita sangka. Main hati,
perselingkuhan bukan soal perempuan genit yang menggoda laki-laki mata
keranjang. Bukan juga soal making love
dengan orang lain yang bukan pasangan sah kita. Namun ini tentang kesepian yang
sering kali merayapi hati. Mimpi-mimpi yang terpendam, sebuah kesempatan yang
menghanyutkan, dan kepercayaan yang terlupakan.
Novel ini memberikan motivasi
bagi saya bagaimana me-manage hati
dengan baik. Memberikan sebuah pelajaran bahwa cinta sejati harus selalu
diperjuangkan. Bahwa komitmen rumah tangga harus selalu dijaga dengan
kesungguhan hati.
Hijrah yang lantas saya
perjuangkan pelan-pelan. Meski banyak mendapatkan pertanyaan. Apalagi saya
lebih banyak mempunyai teman laki-laki dibanding perempuan. Namun saya yakin,
apa yang saya usahakan adalah yang terbaik yang bisa saya lakukan.
Saya mulai membatasi pergaulan
dengan lawan jenis. Pelan-pelan menutup keran komunikasi yang tak perlu dengan mereka.
Hanya di lingkaran inner circle yang
suami saya ridhoi. Dan ternyata, dari semua itu membuat saya lega dan tenang.
Saya mempunyai anak-anak yang sudah remaja. Saya sudah sering memberikan
pemahaman pada anak-anak tentang adab bergaul dalam Islam dengan teman lawan
jenis. Meski saya sangat sering mengatakan tentang adab pergaulan itu, namun
akan sia-sia bukan jika saya tak memberikan contoh bagi anak-anak?
Lah ... malah curhat hehehe ....
Tema tentang buku yang
menginspirasi ini diberikan oleh Mbak Vita Pusvitasari dan Mbak Anita untuk
tema arisan kali ini. Semoga bermanfaat ya. Terima kasih.
Wow, sebagai pengingatku juga nih Mbak. AKu belum pernah baca novelnya, penasaran
BalasHapusSemoga kita dilindungi dari godaan pesona PIL & WIL ya, Mbak. Beberapa waktu lalu juga ikut kajian tentang rumah tangga. Bahwa terkadang kita melihat keluarga lain lebih baik dari keluarga kita. Padahal sebenarnya semua itu "wang sinawang" alias semua butuh perjuangan untuk menjadikannya baik.
BalasHapusIya betul mbaa dulu aku juga banyak temen deket cowok, tpi setelah nikah mulai membatasi diri. Senda gurau yg terlalu intens dgn lawan jenis mnurutku juga kurang baik efeknya meski hanya trman biasa ga ada perasaan apa2.
BalasHapusjadi sedih bacanya :(
BalasHapusBaca ini makin penasaran dengan isi novelnya, Teh..he
BalasHapusIni ada filmnya atau gak ya, Teh?
Duh, sedih banget bacanya mbaa...ngga kebayang keluarga yang ditinggalkan. Apakah sepadan ya :(
BalasHapusIkut sedih jadinya ☹
BalasHapusPertanyaannya adalah : Kok ada ya seorang ibu yang seperti itu. Kalau seorang wanita meninggalkan suami mungkin bisa dengan alasan yang kuat, tapi meninggalkan anak??
BalasHapusHal ini harus menjadi peringatan terutama buat diri saya sendiri mbak Ir, jangan sampai melakukan hal yang bertentangan dengan ajaran agama. Saya juga dalam proses berhijrah menjadi muslimah yang lebih baik. Saya juga mempunyai anak gadis yang pasti dia akan melihat saya sebagai contoh.
Godaan syetan itu memang dahsyat namun iman kita harus lebih kuat kan ya. Mungkin kita harus selektif memilih dan memilah pergaulan, terutama teman di sosmed, hehe..
Novel yang bagus ya mbak, yang bisa mengingatkan kita untuk mematuhi ajaran agama dengan benar :)
Ujian berumahtangga yaa mb, macem macem. Semoga kita mampu memperjuangkan keutuhannya sampai kapanpun. Sepakat mb, seharusnya kita memang membatasi pergaulan kita dg lawan jenis apalagi bagi yg sudah menikah. Menjaga hati mmg tak mdah..
BalasHapusNovelnya sudah ada filmnya berarti yak.. Noteku adalah: jangan over PD bahwa kita akan terus setia.. Mencegah selalu lebih baik daripada terlanjur..
BalasHapus