Keberanian Iras Film untuk
memproduksi kisah Nyai Walidah atau lebih kita kenal dengan sebutan Nyai Ahmad
Dahlan patut diacungi jempol ditengah maraknya film-film Hollywood serta film
nasional bergenre komedi dan romance yang wara wiri di cineplex Indonesia.
Semangat memberikan film yang tak hanya sebagai tontonan namun juga menjadi
tuntunan patut diapresiasi setinggi-tingginya.
Keterlibatan insan-insan seni
dalam film ini, diluar para pemain saya hanya mengenal Dyah Kalsitorini
penggiat literasi yang saya kenal namanya sejak saya remaja. Beliau sudah
menulis ratusan cerpen dan puluhan buku yang diterbitkan penerbit besar di
Indonesia. Saat ini beliau lebih banyak berkecimpung menulis naskah FTV. Selebihnya saya masih asing membaca nama-nama mereka.
Namun itu tak masalah bagi saya.
Saya ingin mengenal Nyai Ahmad Dahlan lebih jauh. Selama ini meski tak begitu
aktif di Aisyiyah, saya mengagumi akan sosok founder dari organisasi perempuan Islam yang pertama di Indonesia.
Keingintahuan saya mengenal sosok pendamping pendiri salah satu organisasi
Islam terbesar di Indonesia ini makin tinggi saat membaca novel biografi Kyai
Ahmad Dahlan, “Bara Yang Tak Padam” karya salah satu teman saya, Haidar
Musyafa.
Sayangnya, informasi mengenai
Nyai Walidah memang tak mudah didapatkan. Yang tertulis di wikipedia adalah
informasi yang sangat umum dan sudah banyak juga informasi itu beredar lewat buku maupun jejaring internet. Padahal yang saya inginkan
informasi detil yang bisa saya jadikan sebagai survey untuk membuat sebuah
tulisan nantinya.
Jadi, saat kemarin saya menonton
film tersebut, saya sudah meletakkan berbagai macam ekspektasi yang muluk
mengenai teknik artistik, apakah film ini bisa sekolosal Sang Pencerah (film
tentang Kyai Ahmad Dahlan) atau yang berkaitan dengan pembuatan film. Saya
percaya akan kepiawaian Tika Bravani, Cok Simbara, David Chalik, dan Della
Puspita.
Tentang Film Nyai Ahmad Dahlan
Walidah, seorang anak perempuan
yang cerdas. Dari kecil keinginannya untuk belajar menguat. Ia juga tak ingin
cerdas sendirian. Ia meminta ijin pada sang ayah untuk mengajak teman-temannya
meski ada pertentangan dari kaum laki-laki di jaman itu yang berpendapat bahwa
perempuan tidaklah perlu untuk belajar apapun. Bagi perempuan yang penting
adalah macak, masak, manak (bersolek, memasak, melahirkan).
Walidah saat dewasa dijodohkan
dengan Muhammad Darwisy, yang saat itu sudah berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Ia adalah anak Kyai Abu Bakar, salah seorang Kyai yang disegani di Yogyakarta saat itu. Mereka pun lantas menikah. Walidah pun menjalankan peran sebagai istri dari seorang Kyai yang saat itu
sedang merintis mendirikan persyarikatan Muhammadiyah. Kepatuhan dan mendampingi suami di
saat-saat penting mengingatkan saya akan peran Khadijah dalam kehidupan seorang
Muhammad sebagai rasul.
Nyai Walidah merelakan hartanya
untuk pergerakan Muhammadiyah. Quote pertama dari film Nyai Ahmad Dahlan yang
mengena di hati saya adalah ucapan Nyai Walidah dalam scene tersebut.
“Kain kafanku tak ada sakunya. Kita mati takkan membawa apa-apa.”
Keikhlasan seorang istri teruji
manakala harta yang diwariskan oleh orang tuanya dihaturkan pada sang suami
untuk perjuangan mengembalikan ketauhidan. Untuk menghentikan bid’ah, takhayul
dan churafat yang menggerogoti keimanan. Untuk sebuah pelita yang ternyata
nantinya menjadi matahari bagi umat Islam yang percaya akan Al Quran dan Al
Hadits yang menjadi pedoman umat Islam dalam berkehidupan.
Saya juga mencatat ketegasan dari
seorang ibu pada film ini. Saat salah satu putra Nyai Walidah asyik bermain
biola. Kemudian sang ibu masuk ke dalam kamar. Anak yang lain keluar
ketika tahu sang ibu ingin bicara pada saudaranya. Yang pertama adalah adanya
reward and punishment dalam sebuah pendidikan. Ketika anak melanggar aturan,
maka orang tua tidak segan untuk memberikan punishment. Dalam hal ini , Nyai
Walidah mengambil biola sang putra ketika mengetahui sang putra ngeyel saat
diingatkan untuk mendahulukan shalat terlebih dahulu. Saat sang putra
menyadari kesalahannya lantas menangis, Nyai Walidah pun tak segan memeluk sang
putera. Pelukan itu sebagai reward untuk memberikan penghargaan akan kesadaran
yang dimiliki oleh sang putra. Hal ini sejalan dengan ilmu parenting yang saat ini banyak dipelajari oleh orang tua mengenai ketegasan orang tua serta penghargaan untuk anak-anak.
Sementara yang kedua, ada pelajaran adab dalam rumah. Ketika orang tua akan menegur anaknya, maka yang lain pun akan memberikan kesempatan pada orang tua untuk berbicara dari hati-ke hati. Saat orang tua marah kepada anaknya, anak yang lain takkan mengetahui sehingga tak ada yang dipermalukan dalam hal ini. Hanya orang tua yang cerdas dan mempunyai empati yang tinggi mampu mendidik unggah ungguh dan menjauhkan dari sibling rivalry.
Sementara yang kedua, ada pelajaran adab dalam rumah. Ketika orang tua akan menegur anaknya, maka yang lain pun akan memberikan kesempatan pada orang tua untuk berbicara dari hati-ke hati. Saat orang tua marah kepada anaknya, anak yang lain takkan mengetahui sehingga tak ada yang dipermalukan dalam hal ini. Hanya orang tua yang cerdas dan mempunyai empati yang tinggi mampu mendidik unggah ungguh dan menjauhkan dari sibling rivalry.
Quote kedua yang mengena di hati
saya dari kalimat Nyai Walidah.
“Pernikahan itu berpikir bersama, bukan berpikir yang sama.”
Ya ... kita semua tahu, bahwa
menikah itu menyatukan dua hati yang berbeda dengan isi kepala yang sama sekali
tak sama. Ada win win solution yang tersirat dalam kata berpikir bersama. Tak
ada yang menang atau kalah dalam rumah tangga. Tak ada yang untung maupun rugi
dalam sebuah pernikahan. Pernikahan itu dua-duanya dalam derajat yang sama. Tak
ada yang lebih tinggi derajatnya. Yang ada hanyalah siapa yang memimpin
bahtera rumah tangga untuk mencapai kesuksesan bersama yaitu pernikahan yang
sakinah mawaddah dan warrahmah.
“Allah memberikan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan yang melakukan amal shalih akan mendapatkan pahala yang lebih.”
Quote ketiga, kalimat yang keluar dari Nyai
Walidah ini sesuai dengan perkembangan jaman. Tak perlu perempuan berteriak
mengenai kesetaraan karena Allah telah lebih dahulu mengaturnya. Allah memberikan
kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan hak nya.
Namun, jika kita melihat mengapa perempuan lebih banyak di rumah dan melakukan
pekerjaan-pekerjaan rumah tangga itu dikarenakan insting seorang perempuan yang
suka akan keindahan dan kelembutan. Keindahan berkaitan dengan kebersihan,
keharuman, dan rasa lezat. Kelembutan berkaitan dengan rasa sayang dan cinta
yang perlu ditumpahkan. Apalagi terhadap titipan-Nya.
Nyai Walidah pun memberikan
pendidikan untuk kaum perempuan di sekitarnya. Awalnya dari sebuah pengajian,
kemudian bertambah dengan mengajarkan membaca dan menulis huruf latin.
Perkembangan kajian Nyai Walidah pun merambat menjadi pelatihan ketrampilan
bagi remaja putri sebagai cikal bakal dari pergerakan Aisyiyah yang awal mulanya bernama Sopo Tresno. Dari film ini,
saya baru tahu loh kalau arti dari Aisyiyah adalah pengikut jalan Aisyah istri
nabi. Dan dari film ini juga saya pertama kalinya tahu kalau yang mengusulkan nama Aisyiyah itu K.H. Fakhrudin.
Ada salah satu adegan yang buat
saya maknyes, yaitu saat Kyai Dahlan membersihkan tempat tidur dan menyatakan
bahwa Nabi Muhammad pun menjahit pakaiannya sendiri yang robek. Saya jadi merasa
dibela lho, bahwa tak ada pengkotak-kotakan mana pekerjaan laki-laki dan
perempuan. Sama saja. Nggak ada salahnya laki-laki ngerjain pekerjaan rumah.
Itu takkan mengurangi kejantanannya sebagai laki-laki. Malahan mereka yang
melakukan hal itu terbukti adalah laki-laki yang mempunyai empati tinggi.
Laki-laki berempati tinggi takkan mau menyakiti hati perempuan. Ibu, istri,
anak, dan saudaranya.
Apakah saya menitikkan air mata?
Tentu saja. Ada beberapa scene
yang cukup membuat saya mbrambang, terharu. Namun tiga adegan ini yang membuat
saya menitikkan air mata.
scene pengumpulan donasi |
Saat Kyai dan Nyai Dahlan hendak melelang
barang-barangnya untuk mencari donasi bagi Muhammadiyah, wafatnya Kyai Dahlan,
serta rasa kehilangan yang dirasakan oleh Nyai Dahlan sepeninggal suaminya.
Scene Kyai Dahlan memberikan pesan sebelum wafat |
Saat adegan Kyai Dahlan wafat,
saya langsung teringat ketika menulis adegan dalam novel pertama saya, The
Beloved Aisyah. Mirip dengan adegan
wafatnya Nabi Muhammad. Dua laki-laki itu sebelum wafat masih saja memikirkan
umat Islam.
Kyai Dahlan berpesan bahwa tak
perlu ada yang menangis saat mengantar kepergiannya. Jangan meminta dipuji saat
melakukan kebaikan. Jangan pula marah jika dicela.
“Aku wariskan Muhammadiyah padamu. Tidak mudah menjaga Muhammadiyah. Semoga Muhammadiyah bermanfaat bagi umat sepanjang masa ke masa. Pesanku, hidup-hidupilah Muhamadiyah. Jangan mencari hidup di Muhammadiyah.”
Pesan Kyai Dahlan itulah yang
selalu dipegang oleh warga Muhammadiyah sampai detik ini. Betapa kata semangat bermanfaat untuk umat telah mendarah daging. Ketulusan menjadi nama tengah bagi
warga Muhammadiyah.
Scene Nyai Walidah setelah kepergian suami tercinta |
Saya pernah merasakan kehilangan.
Perasaan kehilangan orang-orang yang tak mungkin kembali. Sosok-sosok yang
mengisi hidup saya. Saya bisa merasakan kesedihan itu. Saya pun beberapa kali melakukan hal yang sama, menyentuh
barang-barang kesayangan mereka, mengingat kenangan manis yang sangat layak
untuk dikenang, serta tak ingin memori tentang mereka terlepas dari ingatan. Dan scene itu,
mengingatkan saya bahwa saya pun merindukan mereka yang telah pergi untuk
bersama Yang Maha Pencipta.
Kritik Film Nyai Ahmad Dahlan
Di awal tulisan di atas, saya
sudah mengatakan bahwa saya melepaskan segala macam ekspektasi dan takkan
membandingkan dengan biopik Kyai Ahmad Dahlan yaitu Sang Pencerah. Namun
ternyata ada beberapa hal yang mengganggu pikiran saya lantas saya diskusikan
dengan si Kakak yang juga sudah nobar Nyai Ahmad Dahlan bersama civitas
akademika sekolahnya. Anak SMP ini pun ternyata mempunyai pendapat yang serupa
dengan saya.
1. Alur di awal film berjalan begitu
lambat. Namun begitu bercerita tentang Walidah yang sudah menginjak remaja,
film terasa melompat-lompat. Kadang suatu adegan timbul tanpa ada sebab dan
akibatnya. Tiba-tiba scene itu ada sehingga agak membingungkan.
2. Bagaimana menerjemahkan seorang
pejuang perempuan, meski dengan kelembutan berjalan begitu flat. Nyaris tak ada
gelombang emosi yang mempermainkan perasaan penonton. Konflik yang terjadi
lebih banyak berkutat pada Kyai Dahlan.
Sebenarnya saya berharap ada konflik batin Nyai Walidah yang bisa dieksplorasi
misalnya saat sang suami ditawari oleh Hamengku Buwono VII untuk menikahi
seorang janda dari seorang kawulo dalem Kasultanan Ngayogyakarta yang bernama
Nyai Raden Ayu Sutijah Windyaningrum.
Informasi tentang Nyai Ahmad
Dahlan yang ada dalam film ini seperti yang sudah tertulis di wikipedia. Saya
tak mendapatan satu hal yang baru. Namun saya memahami minimnya informasi dan
nara sumber yang banyak mengetahui kehidupan Nyai Ahmad Dahlan bisa jadi yang
menjadi kendala dalam mengeksplorasi sejarah tentang beliau.
3. Kalau dalam sebuah penulisan
novel selalu ditekankan showing not telling. Perlihatkan,
jangan dikatakan. Maksudnya, bahwa saat menceritakan seseorang menangis, jangan
hanya dikatakan
“Ia menangis”.
Pembaca takkan bermain dengan imajinasi menangis yang seperti apakah si tokoh novel
itu. Lain halnya ketika kita membaca
“Pipinya basah. Ia mengusap pipinya yang terasa hangat.”
Sama-sama bercerita tentang
menangis. Namun dengan gaya penceritaan kedua yang memperlihatkan bagaimana
seseorang itu menangis akan lebih mudah untuk dibayangkan.
Sama dengan novel, film
membutuhkan showing. Tak hanya
telling. Penceritaan dalam film Nyai Ahmad Dahlan lebih banyak menggunakan teknik telling. Kyai atau Nyai Ahmad Dahlan
lebih banyak memberikan ceramah. Kesan yang saya dapatkan saat menonton adalah
pesan yang disampaikan film ini agak menggurui. Mungkin akan lebih baik ketika
pesan yang disampaikan diejawantahkan dalam sebuah adegan visual tanpa kalimat.
Cukup visual dan musik mungkin akan lebih menyentuh hati penonton.
4. Yang paling mengganggu saya dalam
film ini adalah wardrobe nya. Untuk
Kyai dan Nyai Ahmad Dahlan cukup sesuai dengan jamannya. Namun beberapa pemain
pendukung, apalagi pemain pendukung wanita rasanya kok tak berkostum seperti
jamannya. Contoh kecil adalah pasmina panjang yang menutup dada yang dipakai
oleh pemain pendukung yang berwajah timur tengah.
Betul, dalam Islam memang
kewajiban menutup dada ada dalam Al quran. Namun dijaman itu belum ada yang
namanya pakaian syari. Kerudung yang dipakai oleh wanita di jaman itu adalah kerudung sampir dan tipis seperti yang
dipakai oleh Nyai Ahmad Dahlan. Ada pula yang memakai jilbab paris segi empat.
Setahu saya jilbab segi empat yang dilipat menjadi segitiga mulai dipakai oleh
remaja muslim tahun 80an. Lantas ada pula pemain pendukung yang memakai ciput yang
bercepol. Ini kan model ciput yang in beberapa tahun belakangan. Sebuah film yang
berbasis sejarah semestinya merekonstruksi keadaan di masa itu. Mulai dari
setting, make up, wardrobe dan seluruh properti syuting mendukung keseluruhan
cerita.
5. Kalau untuk akting pemain utama,
saya sudah nggak perlu meragukan lagi. Namun untuk pemain figuran, agak aneh
juga kalau mereka sadar kamera, dan setiap hendak berbicara mereka terlihat
menahan senyum. Namun namanya simbah-simbah ya, agak sulit untuk bersandiwara
karena sudah terbiasa bersikap apa adanya. Namun yang cukup membuat saya
terhibur adalah totalitas para simbah putri yang terlihat natural bermain film.
Salut.
6. Dari beberapa kritikan di atas, ada satu yang mencuri perhatian saya yaitu penataan musik yang keren. Penataan musik yang bagus ternyata mampu menutupi sekian kekurangan yang ada.
Tuntunan Islam memang sulit lepas
dari apa yang dinamakan dakwah. Pembentukan persyarikatan Aisyiyah ini
mengandung unsur dakwah yang sangat kental, namun dikemas dalam bentuk film. Memang
banyak penonton yang mempunyai ikatan emosional karena merasa menjadi bagian
dari Aisyiyah dan Muhammadiyah seperti saya sehingga merasa mewajibkan diri
untuk menonton film ini. Namun jangan lupa, ini adalah film komersil, bukan film
dokumenter yang dinikmati oleh kalangan tertentu. Di luar sana masih banyak
calon penonton yang perlu diyakinkan supaya tergerak mengetahui sejarah Nyai
Ahmad Dahlan melalui film ini. Untuk itu, tuntunan ini akan jauh lebih mengena
ketika dibalut menjadi sebuah tontonan yang lebih menarik, emosional, dan
spektakuler sehingga mampu menggerakkan hati pemirsanya.
Bagi saya film ini tetap layak
untuk ditonton. Apalagi oleh anak-anak. Mereka wajib belajar memahami sejarah.
Bagaimana kita akan membangun bangsa jika tak mengenali sejarah bangsa sendiri?
Lhah nggak ada tentang poligaminya ya?
BalasHapusNggak ada mba, mungkin memang dihindari supaya tidak mengundang kontroversi
HapusLaunching pas Milad Muhammadiyah ya mba..? Aku tau sosok siti Walidah juga dari Buku kemuh e anakku mba.
BalasHapusMasih minim info sih. Tapi kayaknya bisa jadi tontonan yang bagus n bisa buat semua umur yaa.. Mbokmenowo klo lihat ini trus pelajaran kemuh nya anakku juga lebih nyantol
Harus ada eksplorasi yang lebih dalam kudune untuk menghadirkan pengetahuan yang baru. Njur pengen nulis novel e 😁
HapusKeluargaku muhammadiyah banget. Kalo aku ajak nobar ini, kemungkinana besar mereka setuju semua. Tp kalo ajak suami, kyknya g bakal mau, krn dia NU hahahaha... Tp yowislah.. Yg ptg kita rukun..
BalasHapusAgak mengganggu ya mba kalo nonton film yg beralur jaman dulu, tp bbrapa scenenya mlh ga totalitas dgn memakai barang2 di jaman skr. Sayang jadinyaa...
Saya suka nonton film sejarah, termasuk drama saeguk korea. Saya suka detilnya, sering kagum dengan setting jaman dulu dan menghadirkan di layar lebar. Cuma kalau ga sesuai nontonnya ngebatin melulu 😁
Hapusbelum sempat nonton film ini, sepertinya agak turun kemauan nonton karena baca kritikan tulisan ini hehehe.
BalasHapustapi tetep ingin nonton.
saya setuju kritikan nomor 2, dalam benakku kemarin ditayangkan gak ya poligminya Mbah Ahmad Dahlan