Menjawab tantangan Mbak DiniRahmawati serta Mbak Maritaningtyas tentang kali pertama, yang terbersit di
benak saya adalah jatuh cinta. Siapapun pasti pernah merasakan tumbuhnya
bunga-bunga di hati dan sekian banyak modus yang lantas hadir hanya untuk
mencoba dekat atau sekedar menatap. Baru saja terpikir di WA grup Mbak Wahyu
ternyata sudah menghadirkan cerita manis tentang seseorang yang pertama kali
mengisi hati. Oke. Coret. Namun tak lama kemudian saya berpikir tentang hal yang
berkebalikan dengan jatuh cinta. Patah hati.
Buat saya, seseorang yang mampu
membuat kita patah hati adalah ia yang telah memberikan rasa sakit dibalik banyaknya
kenangan manis dan perasaan yang indah di hati. Banyak hal yang menetap lantas
sulit untuk dilupakan. Butuh perjuangan saat kita memutuskan untuk berdamai
dengan hati. Bukan hanya sekedar naksir, suka, atau ngegebet jika tak sesuai
dengan ekspektasi lantas mudah untuk move
on. Dan saya, kok ya pernah ngerasa patah hati pertama kali di masa seragam
biru putih.
Di masa seragam biru putih itu,
saya termasuk anak yang mudah naksir, namun cepet juga ngelupain. Apalagi kalau
sudah bosan atau ilfil. Easy come easy go. Pokoknya hidup itu dibikin hepi aja.
Mikir nilai sekolah aja enggak. Agak congkak dengan prestasi sekolah yang
stabil bagusnya hahaha ... (Sombong syekali)
Dia adik kelas saya. Kami sudah
saling mengenal sejak TK. Keluarga kami pun bersahabat. Apalagi Ibuk dan ibunya
berada dalam taklim yang sama. Meski lama tak bersua, saat pertama kali bertemu
di sekolah kami sudah langsung mengenali. Ia mendatangi saya kemudian menyapa,”Mbak
Irfa kan?”
Ahai ... Obrolan basa basi pun
terjadi. Lantas kami pun menjadi lebih akrab. Semakin hari semakin erat. Kadang
ia nyariin saya sekedar say hello, atau saya lewat kelasnya lantas berhenti
sejenak untuk bercanda. Banyak teman-teman kemudian menyangka kami bersaudara.
Kebetulan struktur wajah kami mirip. Sama-sama berkulit terang, bermata sipit,
dan bergigi gingsul. Sangkaan itu kami iyakan tanpa kesepakatan. Ia mengaku
saya adalah kakaknya, dan saya jika ditanya tentangnya pun selalu saya katakan
ia adalah adik saya. Ia memanggil saya Embak, dan saya memanggilnya Adek.
Kami sering pulang bareng jika
saya ke rumah Simbah. Kebetulan rumah Simbah satu jurusan naik angkot dengan
rumahnya. Ia hapal hari apa saja saya akan pulang ke rumah Simbah. Dan kami
akan saling menunggu satu sama lain di hari itu.
Perasaan nyaman satu sama lain.
Menjadi tempat sampah ketika butuh membuang keluh. Lantas perasaan rindu pun
ikut terlibat. Debar di dada sering mengiringi saat berbicara, bercanda atau
sekedar tersenyum saja. Sehingga sebenarnya, tanpa perlu dikatakan pun sudah
cukup kami mengetahui bahwa kerinduan berbanding lurus dengan perasaan terindah.
Satu hari, jadwal saya ke rumah
Simbah. Ia sudah menunggu saya di pintu gerbang sekolah. Saya tersenyum dan
berlari ke arahnya. Namun ia tak membalas senyum saya. Matanya tak mau menatap
ke arah saya.
“Adek kenapa?” tanya saya
menyadari ada sesuatu yang berbeda.
Ia terdiam sesaat. Lantas ia
mengembuskan napas kemudian memutar tubuhnya menghadap saya tiba-tiba. Saya
kaget dengan ekspresi kaku di wajahnya.
“Mulai hari ini, kita nggak usah
barengan ya?”
Saya terdiam. Berjuta tanya
memenuhi kepala.
“Kenapa?”
“Aku nggak mau lagi.”
“Adek marah?”
Ia menggeleng kuat.
“Ya? Nggak usah barengan lagi ya?”
suaranya lirih memohon.
“Tapi masih bisa ngobrol kan?”
tanya saja masih berharap.
“Nggak usah ya?”
“Kenapa?”
Ia tak menjawab. Hanya mengajak
saya bersalaman, kemudian berlari menjauh. Saya hanya terpaku di gerbang
sekolah.
Saya mencoba mencari penjelasan.
Namun ia selalu menghindar. Sampai beberapa lama, saya pun merasa lelah. Saya
berhenti meminta penjelasan. Dan hati
saya pun rontok perlahan.
Saya merasa tak punya semangat
bersekolah. Mulai membiasakan diri menganggapnya tak ada. Namun selalu terasa
nyeri di dada saat melihatnya lewat atau bercanda dengan teman-temannya. Meski ia
masih memberikan saya senyuman.
Mencoba melupakan dengan
konsentrasi pada pelajaran bukan hal yang mudah. Saya benci ketika nilai-nilai
ulangan dan rapor pun terjun bebas. Pertanyaan dari guru pun sulit saya jawab
ketika mempertanyakan prestasi saya. Tak mungkin dong, saya mengaku bahwa hati
saya sedang patah.
Jengkel karena saya sulit
mengenyahkannya jauh-jauh dari pikiran, saya nyoba pacaran dengan orang lain. Memang
tak seberat sebelumnya. Namun ia tetap menghuni hati.
Waktu pun berlalu. Saya pun sudah
berganti seragam menjadi putih abu-abu. Sedikit demi sedikit saya bisa
melepaskan hati. Mengikhlaskan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab olehnya.
Bertemu dengan teman baru, gebetan baru, dan kenangan-kenangan baru.
Sampai dua tahun berlalu, tiba-tiba
ia muncul di teras rumah saya bersama sang kakak. Sang kakak menyampaikan
amanah dari ibunya untuk menyampaikan undangan pernikahan si kakak dan meminta
saya datang ke rumah mereka keesokan hari. Dengan perasaan tak menentu saya pun
datang ke rumahnya menemui sang ibu. Ternyata saya diminta untuk menjadi pager
ayu mendampinginya sebagai pager bagus di pernikahan kakaknya.
Rasanya awkward. Setelah sekian
lama menata hati, akhirnya kembali berantakan lagi dengan sebuah prosesi pernikahan.
Saya berada di sampingnya, atau berhadapan dengannya. Tak banyak bicara. Meski hati
rasanya seperti jetcoaster. Ingin rasanya mempertanyakan kejadian di masa putih
biru. Namun logika saya melarang. Ini bukan waktu yang tepat. Bahkan saat ia
mengantar saya pulang, saya tetap memilih mengunci mulut.
Ia mengantarkan saya sampai pintu
rumah.
“Mbak, maafkan aku.”
“Iya.”
Ia kembali mengulurkan tangan
mengajak bersalaman. Beberapa detik ia menggenggam tangan saya. Saat melepaskan
ia langsung beranjak pergi.
Sempat baper untuk beberapa lama.
Namun kali ini saya lebih menguasai hati dan logika. Berusaha mengikhlaskan
yang pernah terjadi dan tak ingin menengok ke belakang kembali. Saya dan dia
sama-sama mengejar cita-cita.
Lima tahun setelah itu, kami
kembali dipertemukan saat sama-sama mengantar Ibu masing-masing ke taklim. Ia
lebih dewasa. Senyumnya masih sama. Dan saya masih sempat merasakan jantung
yang ngelunjak dadakan.
Setelah basa basi sebentar, ia
bertanya.
“Besok aku ke rumah ya Mbak?”
“Duh ... aku mau ke dosen
pembimbingku di Magelang,” jawab saya.
“Aku antar ya?”
Sejenak bimbang menyapa, lantas
saya mengiyakan.
Waktu telah mengubahnya. Ia tak
lagi Adek kecil yang selalu menghindar ketika saya bertanya. Pemikirannya bahkan
jauh lebih dewasa ketimbang saya yang notabene secara umur lebih besar
angkanya. Perasaan nyaman kembali melingkupi hati. Ia menunggui saya konsultasi
skripsi berjam-jam. Setelahnya kami pun menyempatkan berdiskusi tentang skripsi
saya setelah pulang ke rumah. Sehariam kami bersama. Dan ketika ia hendak pulang, tiba-tiba saja hujan
turun makin menderas.
Di teras kami berbicara. Dan ia
menjelaskan pertanyaan saya yang tersimpan selama sembilan tahun.
“Mengapa aku menghindarimu saat
itu? Karena aku tak yakin kamu mau sama aku. Kalau aku ngomong sayang sama
kamu, apa kamu mau terima? Aku kan adik kelasmu. Kamu pasti malu kalau ada yang
tahu.”
“Kenapa kamu nggak bilang?”
“Berarti saat itu sebenarnya kamu
mau?”
Saya tertawa. Sebuah
kesalahpahaman terjadi saat itu.
“Tapi aku bersyukur, Dek. Saat
itu kita nggak sama-sama tahu kalau kita saling sayang. Mungkin saja, pertemanan
kita nggak akan sebaik sekarang.”
“Iya. Tetap ada yang bisa kita
syukuri. Kamu sekarang gimana, Mbak? Ada yang serius?”
“Lagi deket aja.”
Ia tersenyum.
“Sejujurnya, Mbak, Ibu pengen
kita bisa deket. Maunya Ibu keluarga kita bisa jadi keluarga besar. Tapi aku
nggak mau jadi duri bagi orang lain. Aku datang belakangan. Nggak seharusnya
aku ngambil kebahagiaan orang lain. Dia pasti baik buatmu. Kalau nggak, mana
mau kamu deket sama dia kan Mbak?”
Saya lega. Benar-benar lega.
Seperti cangkang yang tiba-tiba terbuka. Meski ada perasaan sedih menguar ketika
kejujuran sudah terkatakan. Namun saya terharu, ia tak egois memaksakan
keinginannya. Ia berbeda.
Dan kami pun resmi menjauh. Tak
saling berhubungan. Saling menjaga. Kabar tentang kami saling ditukar oleh
orang tua kami masing-masing. Itu saja sudah cukup.
Bahagia tak lantas untuk bisa
memiliki. Melepaskan juga menjadi salah satu cara untuk mendapatkan keindahan
hati. Menunggu saatnya. Ketika Yang Kuasa berbicara dengan cara-Nya
Makasih mbak Irfa ceritanya. Duh, aku selalu baper deh bacanya.. Huhuu.. Alhamdulillah semua berakhir baik ya mba.. Balada putih biru hehe
BalasHapusAlhamdulillah kabeh wis bahagia mbak Din, dan persahabatan keluarga tetep terjalin baik
HapusAku terharu ik bacanya. Oalah deekk deekk... Ngertiyo aq sing bilang ailapyu *brutal mode
BalasHapusHahaha ... Kudune yaaaa
HapusMba Irfaa ya ampuuun ceritanya melemparku ke masa2 SMP, masa2 baper kaya gini. Trus sekarang gimana kabar si adek, udah punya anak berapa, ops kepo 🤣🤣
BalasHapusHahaha... Ada di FB Mi, cuma nggak mau nyapa, ntar kebablasan hahaha
HapusWahahah soal patah hati aku juga punya pengalaman pait pait manis mba irfa hihi kapan2 cerita d blog juga ah XD
BalasHapusHayuk ah... Tulis... Tuliss haha
HapusHuhu...patah hati ya. Aku pernah patah hati tapi waktu udah gede sih..wkwkwk
BalasHapusYang udah gede ga berani nulisnya hahha
HapusHuhuhu.... baper.. T.T
BalasHapussi Adek pandai sekali menjaga perasaan, eh
Adek... Oh... Adek hahah
HapusWaaaah ... Baper bangeeet aku.. dewasa banget ya.. :) cerita patah hati kalau di tangan penulis bisa jadi keren banget deh :)
BalasHapusTukang ngayal mbak hahahah
HapusPatah hati yang bikin inspirasi ya mba Irfa hahahah
BalasHapusInspirasi menulis memang bisa datang dari mana aja hahaha
Hapusmasih mending kalo jawabannya sudah terjawab, yang lebih parah lagi jika sampai tua pun masih tanda tanya hehehhe
BalasHapusUntung ya udah dapet kuncinya. Udah ga penisirin lagi hahahaha...
Hapus