Assalamualaikum temans,
Setiap orang memiliki luka dalam dirinya. Luka yang terkadang memang disimpan diam-diam. Luka yang tak ingin diketahui siapapun. Luka yang diharapkan menutup seiringnya waktu.
Namun ada pula luka yang semakin lama menyesakkan hati. Semakin diharapkan sembuh namun yang terjadi sebaliknya. Semakin hari terasa perihnya. Seperti luka menganga yang ditabur garam.
Terkadang, di posisi seperti itu harus memasang topeng bahwa semuanya baik-baik saja. Harus menyembunyikan tangis dibalik senyum dan tawa. Pura-pura baik-baik saja sementara lubang di hati makin membesar. Seolah-olah menjadi manusia tiada tanding sementara kenyataannya makin merapuh.
Saat yang terasa sesak itu seperti hendak meledak. Pada akhirnya butuh tempat untuk mengalirkan perasaan. Berharap pertahanan diri tak melebur. Bendungan dalam diri tak jebol karena rasa sakit yang semakin mendesak untuk diuraikan.
Manusia, siapapun dia harus sehat jiwa dan raga. Supaya tak hanya 'tampaknya' baik-baik saja. Jika memang sudah merasakan bahwa jiwanya butuh penyembuh. Maka segeralah mencari penawar bagi luka hati yang masih terbuka.
Pilihan ada di tangan masing-masing manusia bagaimana cara memulihkan hati. Bagaimana seseorang berproses dalam memperbaiki kepingan hati yang terserak. Bisa jadi takkan sama. Takkan menjadi seutuhnya seperti di masa lampau. Namun semua itu memang harus dilalui.
Latar Belakang Penulisan Antologi Pulih
Ada banyak cara untuk menyembuhkan luka hati. Salah satunya adalah menulis. Alm BJ Habibie saat kehilangan istrinya pun menulis sebagai katarsis dari lukanya. Saat kehilangan Ibuk saya pun menulis untuk menghilangkan sesak dan penyesalan meski tak seratus persen mampu menyembuhkan. Selalu saja ada luka tertinggal yang hanya bisa diobati dengan waktu. Namun setidaknya beban berat itu dapat diletakkan di satu tempat meski tak sepenuhnya dilepaskan.
Memang ada banyak cara memulihkan ruang hati. Namun dengan menulis kita tak hanya melepaskan kesedihan, namun juga membagi hal positif. Saat berbagi hikmah, insya Allah mampu memberikan inspirasi bagi orang lain. Saat yang kita lakukan memberi manfaat untuk orang lain, tentunya satu persatu kebahagiaan yang datang mampu menjadikan penawar bagi luka di hati.
Menulis di blog atau media sosial bisa menjadi jalan bagi siapa saja untuk berbagi. Saat menulis di berbagai platform media sosial sering kali bisa menjadi jalan bagi sang penulis untuk mengurangi beban di hati. Ternyata hal ini tak luput dari perhatian mbak Widyanti Yuliandari selaku ketua Ibu Ibu Doyan Nulis Pusat.
Banyak tulisan teman-teman di media sosial menyiratkan tentang kesedihan atau kegundahan hati. Bisa jadi itu adalah permasalahan yang sedang dihadapi. Jika setiap orang memendam permasalahan, bukankah itu akan mempengaruhi kesehatan mentalnya? Pengamatan yang dilakukan itulah memunculkan ide menulis buku antologi bertema mental illness.
Sebuah penulisan tentang masalah kejiwaan, tentunya harus ada pendampingan supaya para penulis antologi ini mendapatkan sesuatu. Bagi para penulis, ketika masalah diungkap, ada dua hal kemungkinan yang terjadi. Yang pertama bisa menjadi katarsis, sementara yang kedua bisa menjadi masalah baru. Karena terkait dengan kesehatan jiwa maka IIDN Pusat pun bekerjasama dengan konselor untuk mendampingi penulis yang nantinya terpilih menjadi kontributor.
Saat diumumkan audisi naskah ini, atensi dari anggota pun bagus. Banyak naskah yang masuk sehingga makin beragam kisah yang bisa dihadirkan dalam antologi ini.
Grand Launching Antologi Pulih
17 Oktober 2020, melalui zoom meeting mulai jam 19.00-21.00. Saya telat sebentar sih, kelupaan karena ngobrol dengan anak-anak.
Ada tiga narasumber dalam acara Bincang Pulih ini. Yang pertama tentu saja mbak Widyanti Yuliandari selaku ketua IIDN Pusat kemudian dr. Maria Rini I, Sp. Kj seorang psikiater dari Surakarta dan mbak Intan Maria Halim, S.Psi, founder Ruang Pulih.
cr : Nyi Penengah Dewanti
Di awal acara mbak Wid membincangkan tentang bagaimana awal mula tema dan seleksi naskah antologi ini. Terpilih 25 kontributor yang merupakan anggota dari IIDN. Kisah-kisah ini terdiri dari berbagai latar belakang. Ada yang bercerita tentang apa yang terjadi pada diri sendiri. Ada pula yang bercerita tentang kisah orang lain. Kisah-kisah yang dituliskan pun ada yang sudah selesai melalui segala permasalahan, namun ada pula yang masih menjalani.
Kontributor pun dibagi menjadi dua kelompok yaitu yang sudah benar-benar pulih dan yang belum selesai. Bagi mereka yang masuk dalam kelompok belum selesai maka ada pendampingan dari dr. Maria dan mb Intan.
dr. Maria berbagi ilmu tentang peran serta komunitas dalam membangun kesehatan mental. Manusia adalah mahluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk memberikan dan mendapatkan. Apa yang diberikan dan didapatkan? Ya, cinta dan perhatian.
Komunitas bisa berkontribusi dan berperan aktif dalam menjaga kesehatan mental para anggotanya. Saling berbagi cerita pun sudah menjadi bagian dalam mendukung anggotanya. Kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan pastinya akan membuat anggota pun aktif mengikutinya.
Setiap manusia berhak untuk mendapatkan kesehatan jiwa dan raga. Hal itu harus diupayakan.
Menurut mba Intan Maria Halim trauma yang kita miliki bukanlah kesalahan diri kita. Hanya saja ikhtiar untuk mengobati hati dan pulih merupakan tanggung jawab masing-masing. Setiap orang memiliki penyelesaian dari setiap masalah. Itu ada dalam diri masing-masing personal. Hanya saja seringkali hal itu kabur atau tertutup.
Untuk itu dibutuhkan konselor atau pendamping untuk memberikan support. Peran konselor atau pendamping adalah membantu menguak tabir yang masih tertutup dan menemukan solusi atas permasalahan yang kita alami.
My Children My Mood Booster
Kenangan tentang suami.
"De, selamat ya, bukumu terbit lagi. Coba kalau kamu punya banyak waktu luang, pasti kamu sudah menjadi penulis terkenal."
"De, terimakasih ya sudah menjadi ibu yang hebat. Kamu sabar sekali menghadapi anak-anak."
"De, maafkan aku ya? Selalu merepotkanmu. Aku pengen sembuh. Aku nggak mau sakit lagi."
"De, Terimakasih sudah sabar merawatku. Nanti kalau aku sudah sembuh aku mau menemanimu jalan-jalan ke mana saja."
"De, kenapa nggak jadi ambil S3 mu?Uangnya habis untuk terapiku, ya?"
"De, terimakasih ya sudah rajin memasa? Tetapi kalau kamu capek, beli aja. Tidak usah masak lagi, biar bisa istrahat."
Suara suamiku itu seolah-olah berbisik di telingaku. Setiap malam selalu terngiang. Seringkali malam sudah larut, tetapi aku belum bisa memejamkan mataku. Terbayang tatapan matanya yang teduh dan semangatnya untuk segera sembuh. Lalu rasa bersalah itu menghantam-hantam kepalaku. Menyesakkan dadaku.
"Aku tidak apa-apa capek, Mas. Aku tidak apa-apa kurus kering. Aku tidak apa-apa tidak nerbitin buku lagi. Aku nggak papa, nggak jadi penulis terkenal.
Aku nggak papa, nggak sekolah S3. Aku nggak papa merawatmu sepanjang waktu. Menemanimu berobat seumur hidupku. Aku nggak papa Mas. Tetapi Mas jangan pergi!"
Nggak bisa komentar banyak. Tidak mengalami hal itu pun sudah cukup membuat hati saya sesak. Jadi teringat pada sahabat yang sudah pergi empat tahun yang lalu. Meninggalkan semua yang mencintainya.
Titik Balik
Aku sesungguhnya terluka. Aku bersedih. Aku tak sanggup hidup sendiri. Aku ibu yang rapuh. Aku ibu yang tidak kuat. Aku tidak strong.
Aku tidak mampu mengurus keempat anakku. Aku rapuh.
Aku selalu saja begitu yang tak mampu menghadapi kenyataan. Hingga akhirnya aku tersadar ketika anakku mengatakan bahwa ia membutuhkanku. Ia tidak mau kehilanganku.
Setiap kesedihan itu datang, aku membayangkan anak-anakku.
Keempat anakku yang begitu pintar, sabar dan memahamiku.
Mereka sungguh sabar menerima takdir ini.
Kenapa aku tidak bisa?
Writing Is Healing
Waktu memang tak pernah menyembuhkan luka. Namun waktu menemaniku melewati semua luka dan semua rasa kehilanganku.
Aku mensugesti diriku untuk bangkit.
Untuk sembuh dan untuk kuat.
Aku membaca banyak buku tentang healing. Aku bergabung dengan komunitas ibu tunggal yang mana aku bisa mengetahui banyak kisah. Ternyata masih banyak wanita yang lebih menderita daripada aku.
Aku juga mengikuti banyak seminar, pelatihan dan apapun tentang healing.
Aku juga berkonsultasi dengan pakarnya tentang apa yang sebaiknya aku lakukan.
Agar aku bisa segera move on dan tidak terpuruk.
Salah satu saran yang aku terima adalah aku diminta untuk mengerjakan hal-hal yang aku sukai.
Aku sangat suka membaca novel, mendengarkan musik, dan yang paling kusukai adalah menulis.
Menulis adalah hobiku sejak dulu, dan sempat kutinggalkan ketika aku terpuruk kehilangan. Pada akhirnya aku berhasil menuliskan kisahku ini dengan baik. Semua ini karena bimbingan ruang pulih yang aku ikuti. Hingga aku bisa semakin pulih dan semakin kuat.
Terimakasih IIDN yang telah menjembatani semua ini. Aku ingin menjadi manusia yang siap menyambut masa depan dengan bahagia. Bukan manusia yang tinggal dalam kenangan, dan menutup mata pada kenyataan.
Heal the pass, be the present and run to the future.
Salut dengan Mbak Triana Dewi yang menuliskan kisahnya sedemikian mengharukan. Mematahkan hati, namun juga membangun kembali patahannya. Tak hanya menguras hati, namun memberikan makna pada tulisannya. Tak mudah bagi mereka yang terluka untuk bangkit sesegera mungkin. Akan selalu ada proses yang tak sebentar untuk memberi kekuatan. Semoga Allah selalu melindungi mb TD dan keluarga.
Sekelumit kisah
Setelah kehilangan Ibuk, dua tahun kemudian saya kehilangan sahabat terdekat yang sudah mengganti peran orang tua saya. Cukup lama saya kehilangan arah. Sampai akhirnya menuliskannya dalam blog. Itu pun masih belum cukup mengobati luka.
Saya lebih suka memendam kesedihan karena tak ingin membuat keluarga bersedih. Sering kali menyusut air mata di tengah malam. Apalagi saat beliau hadir di mimpi setiap kali saya memiliki masalah besar.
Tahun lalu, kembali beliau datang dalam mimpi. Saat itu ada sebuah masalah yang sedang saya hadapi. Namun dalam mimpi itu beliau tersenyum dan menepuk bahu saya.
"Proud of You, Nduk. Aku tahu kamu mampu menyelesaikan ini semua. Aku yakin. Titip ini ya?"
Dalam mimpi beliau menyerahkan sebuah berkas. Di dalamnya berisi foto keluarganya.
Kata-kata itu begitu jelas. Bahkan sampai sekarang saya masih teringat mimpi itu. Dan yang membuat saya takjub, keluarganya setahun ini makin dekat dengan keluarga saya. Bahkan untuk hal-hal penting mereka minta pendapat saya. Apakah ini yang beliau titipkan untuk saya? Wallahu a'lam.
Waktu memang obat alami penyembuh luka hati. Kita tak bisa menghindari luka. Namun kita bisa memilih untuk mengalami penderitaan atau tidak.
Pemesanan Antologi "Pulih"
Bagi temen-temen yang menginginkan buku ini masih bisa kok. Hubungi saja mbak Fitria Rahma selaku penanggung jawab buku antologi ini. Atau kalau kenal dengan para kontributor bisa kok pesen lewat salah satunya. Bisa juga tuh kontak nomor telpon yang tertera di atas. Yuk cuss...
Tidak ada komentar:
Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar ya? Terima kasih