Assalamualaikum temans
Sejak dulu saya memahami bahwa saya bukan orang yang mudah untuk mengkomunikasikan sesuatu di depan publik. Setiap kali presentasi tugas kuliah saya sudah blank aja. Rasanya kalau sudah maju di depan kelas semua yang sudah saya pikirkan langsung terbang terbawa angin. Hal ini membuat saya selalu jadi pengonsep atau sekadar tukang ketik dalam setiap tugas kelompok saat kuliah.
Hal itu ternyata terbawa dalam pekerjaan. Sebagai Account Executive di Surat Kabar Harian Bisnis Indonesia perwakilan Jateng & DIY seharusnya saya lebih sering melakukan presentasi. Sayangnya tiap kali saya melakukan presentasi di depan klien jarang sekali bisa langsung mendapatkan target.
Saya pun mengubah strategi. Saya paham jika kelebihan saya dalam berkomunikasi adalah komunikasi interpersonal. Saya adalah pendengar yang baik. Makanya saya berusaha mendapatkan kepercayaan secara personal dari klien yang saya temui. Saya berusaha maintain ke perusahaan-perusahaan via manager humasnya. Sesekali melakukan kunjungan sekadar ngobrol ini dan itu.
Ternyata hal itu lebih efektif buat saya. Ketika mereka sudah merasa dekat dengan saya. Sangat mudah untuk masuk dan ngobrolin tentang pekerjaan. Bahkan terkadang saya mendapatkan privilege dari klien. Ketika baru saja nikah, tiba-tiba saja di kantor sudah ada voucher menginap gratis di sebuah hotel bintang lima. Saat saya hamil, salah satu manager humas hotel bintang lima di Semarang mengundang saya untuk makan di restorannya gara-gara saya nyeletuk pengen makan tiramisu. Nggak sekadar makan di tempat. Saat itu saya langsung dibawain lima buah tiramisu untuk dibawa pulang padahal harga satu slice saat itu bisa untuk beli tiket travel PP Muntilan Semarang.
Menemukan dunia tulis menulis
Saya bersyukur pernah bekerja di Bisnis Indonesia. Meskipun kerjaan saya adalah marketing, saya sering diajari oleh wartawan untuk menulis di Bisnis Indonesia Minggu yang rubriknya lebih ringan. Sekadar menulis profil pengusaha, atau tempat-tempat makan yang ada di Semarang. Meskipun tulisan saya dirombak total. Tapi saya sudah cukup senang mendapatkan kesempatan untuk belajar menulis di tahun 2001-2003.
Setelah vakum di tahun 2004-2009 karena fokus ke keluarga. Saya ketemu lagi dengan Aan Wulandari, seorang penulis buku bacaan anak. Selain ia adalah teman SMA, ia juga saudara dari jalur Bapak. kebetulan juga ibunya rekan kerja. Ia yang mendorong saya untuk mengikuti audisi-audisi menulis. Tentu saja di awal saya menemukan banyak kegagalan. Namun saya tetap belajar. Dan facebook memberikan banyak jalan untuk belajar. Menemukan komunitas menulis buat saya seperti ‘surga’ untuk belajar. Saya kudu banyak berterima kasih pada facebook karena lewat media sosial ini saya menemukan passion saya yaitu menulis.
Bertahun-tahun belajar menulis akhirnya saya menemukan jalan. Tulisan saya tuh fiksi banget. makanya saya fokus untuk menulis novel. Genre yang saya pilih sampai sekarang ya novel biografi atau sejarah. Sebenarnya ironis juga. Saat sekolah saya nggak suka pelajaran sejarah. Eh, sekarang kudu baca buku sejarah yang tebelnya kayak bantal.
Sampai tahun ini saya telah menulis beberapa naskah novel. Alhamdulillah sampai sekarang sudah ada lima naskah yang sudah dibukukan, meski salah satunya adalah sebuah memoar untuk kalangan sendiri. Ada beberapa yang antri terbit di penerbit mayor dan sekarang pun masih proses menulis naskah pesanan dari penerbit. Alhamdulillah, mendapat kepercayaan dari sebuah penerbit itu sesuatu yang langka bagi saya.
Tahun 2017, saya menemukan jalan lain untuk tetap menulis saat saya pernah vakum menulis novel. Saya mulai serius ngeblog setelah beberapa tahun blog saya tak pernah diisi. Saya termasuk telat ngeblog nih. Ketika teman-teman sudah banyak mendapatkan pekerjaan via blog, saya baru memulainya kembali. Untungnya saya menemukan komunitas Gandjel Rel, dimana saya sudah mengenal para founder sebelumnya dari komunitas menulis lain. Saya banyak belajar ngeblog dari mereka yang sudah lebih dulu aktif menulis sebagai citizen journalism.
Belajar bicara di depan umum
Tahun 2013 -2014 saya pernah menjadi penyiar di radio komunitas. Kesukaan saya pada musik terakomodir di situ. Mengapa saya mau jadi penyiar? Buat saya ini sebuah tantangan. Sudah sejak lama pengen belajar bisa berbicara di depan umum, akhirnya mendapat kesempatan. Saya anggap menjadi penyiar itu adalah latihan untuk berbicara di depan orang banyak. Yang pasti menjadi penyiar itu menguntungkan juga, karena wajah kita nggak ada yang ngeliat. Tapi apa yang kita katakan didengar oleh banyak orang.
Awalnya ya kikuk banget. ngomong sama mic doang. Bingung mau ngomongin apa. Pertama siaran saya ketik semua yang mau saya omongin sampai setitik komanya. Setiap kali siaran saya mesti bawa laptop. Pokoknya berasa bawa prompter sendirilah. Selama dua minggu saya bawa laptop untuk mengurangi awkward dan groginya saya sebagai penyiar. Dan senengnya saya waktu itu banyak pendengar yang merespon
Saya siaran setiap jam 06.30 – 08.00. Setiap pagi saya muterin lagu-lagu yang nge-beat. Di sela-sela muterin lagu saya biasa ngobrolin parenting. Biasanya saya baca tips-tips parenting yang diambil dari internet. Dari siaran radio itu banyak orang yang akhirnya bertanya tentang kepengasuhan anak saat saya siaran. Dan saya pun sering kebingungan ngejawabnya. Bagaimanapun saya bukan profesional. Takut salah jawab aja waktu itu.
Kesempatan sebagai pembicara
Menulis buku dan blog ternyata membawa saya mendapatkan kesempatan lain sebagai narasumber. Awalnya narasumber untuk kepenulisan sebuah kisah inspiratif. Disusul bagaimana menulis novel dan berbagai hal yang terkait kepenulisan. Membagi pengalaman menulis novel apalagi menulis novel sejarah itu risetnya ampun-ampunan. Nggak bisa sembarangan ambil referensi. Apalagi saat menulis sebuah novel sejarah dengan tokoh orang terdekat Rasulullah yang penuh dengan kontroversi.
Di luar tentang kepenulisan saya pun pernah mengisi workshop tentang peran perempuan dan media sosial. Sebuah ortom organisasi keagamaan yang mengundang saya menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut. Saya menyanggupi hal itu karena nggak lepas juga dari kegiatan saya sebagai blogger yang nggak sekadar menulis di blog tapi kudu aktif di media sosial juga.
Ada lagi tantangan sebagai pembicara terkait dengan pemberdayaan perempuan. Saat itu Perpustakaan Kota Yogyakarta yang mengundang salah satu narasumber dari IIDN Yogyakarta. Awalnya sih ada mbak Deassy M Destiani, seorang penulis yang juga pelaku UMKM yang menjadi narasumber. H-1 kegiatan Mbak Deassy harus masuk ke rumah sakit untuk melakukan tindakan medis.
Kurang dari 24 jam saya kudu mempersiapkan materi. Tadinya yang degdegan kalau nggak sesuai ekspektasi. Nggak tahunya malah seru karena pembicara pertama dari DPRD Kota Yogyakarta bisa melakukan interaksi yang aktif dengan saya. Seneng rasanya ketika mendapatkan respon positif dari mereka yang datang di acara tersebut.
Beberapa waktu yang lalu dua hari saya mengisi workshop bagi anak-anak SD. Kalau berhadapan dengan anak-anak SD tuh siapin kesabaran yang berlebih. Apalagi fokus mereka termasuk pendek. Kalau ngomongin materi melulu pasti ngobrol sendiri.
Di hari kedua materi tak begitu banyak namun waktu malah berlebih. Hal ini membuat anak-anak cenderung abai. Supaya anak-anak nggak rame saya buka sesi tanya jawab apa aja. Nggak tahunya anak-anak malah lebih suka sesi yang ini. Out of topic dari kepenulisan. Pertanyaan yang datang pun random banget. Akan tetapi anak-anak malah antusias. Waktu yang harusnya sampai jam 11.00 akhirnya menggelundung sampai jam 12.00
Berbicara di depan umum vs Menulis
Kalau menurut Mas Iqbal Aji Daryono dalam sesi Sharing bareng IIDN Jogja 28 Januari 2023 silam. Kebiasaan menulis itu sangat membantu beliau saat berbicara di depan khalayak. Ketika menjadi narasumber beliau merasa ketika berbicara di benaknya sudah tersusun kata-kata apa lagi yang hendak disampaikan kepada audience. Jadi dalam kepala seperti sudah menyimpan outline.
Sementara bagi saya berbicara dan menulis itu adalah dua hal yang berbeda. Saya lebih mudah menyampaikan pikiran dan perkataan lewat menulis dibandingkan dengan berbicara. Sering kali belibet jika berbicara di depan umum, apalagi tanpa bantuan contekan. Sering kali di rumah sudah terencana apa saja yang hendak saya katakan. Namun di acaranya sendiri apa yang sudah tersusun dalam kepala buyar sudah ketika berhadapan langsung dengan khalayak.
Kalau diminta memilih tentu saja saya lebih memilih untuk menulis dibandingkan dengan berbicara di depan umum. Hanya saja berbicara di depan umum memang bukan untuk dihindari. Namun bisa dijadikan sebagai challenge. Seberapa sih kemampuan kita untuk bisa didengarkan oleh orang lain?
Kalau ada kesempatan belajar berbicara di depan umum saya pengen banget. bagaimana sih seorang narasumber bisa menjadi pusat perhatian audience hingga mereka mau mendengarkan sampai akhir? Bagaimana caranya berbicara supaya nggak ngos-ngosan? Bagaimana memproduksi suara supaya terdengar nyaman di telinga? Bagaimana mengurangi grogi supaya fokus nggak buyar dan masih banyak endebre endebre lainnya.
O ya, tanggal 25 Februari 2023 bakalan ada acara seru nih. Komunitas Blogger Gandjel Rel akan ngerayain ulang tahun yang ke-8. Ntar bakalan ada selebrasi dan sharing session “Public Speaking for Blogger” yang diadain di Kopi Alam Jalan Singosari Timur Semarang. Wah ... sayang banget kalau sampai dilewatin yaaa?
Terima kasih, Mbak. Tapi sejak dulu kayaknya Mak Ir ini tipe-tipe bisalah public speaking hehehe
BalasHapusSama seperti saya mba..lebih nyaman mengemukakan pendapat via tulisan dibanding dg berbicara. Tapi yakin banget bhw ketrampilan berbicara itu sangat penting juga, jd kita mesti mengasahnya juga.. Sampai jumpa di tgl 25 nanti ya mba..
BalasHapusKalau saya lebih memilih menulis daripada bicara di depan umum. Gampang grogi dan gugup sih.
BalasHapusYeayyy, hari ini kita belajar Public Speaking bareng ya mba.
BalasHapusAku sendiri harus memaksa diri untuk berani ngomong di hadapan orang banyak. Karena sebenarnya lebih suka menulis, tinggal duduk manis aja sambil nulis, wkwkwkk. Padahal jaman kuliah, aku beberapa kali maju presentasi untuk kegiatan kampus. Pernah juga jadi ketua pelaksana kajian Perempuan saat Kegiatan Perayaan hari besar Islam, yang akhirnya mengharuskan berdiri menyampaikan sambutan. Beberapa kali jadi moderator untuk acara dies natalis juga, mengapa dulu santai ngomong nya, hahahaa
Aku pun begitu ih. Lebih suka ngomongnya pakai tulisan. Kalau ngomong tuh apalagi bicara di depan umum kok ya kagok gitu lho. Demam panggung pun ada. Lengkap dah.
BalasHapusTapi kalau nggak dilatih ya gitu lah. Diam di tempat.