Assalamualaikum temans
Saat saya berada di bangku SD bulan April merupakan bulan yang benar-benar saya tunggu. Di bulan ini saya mendapatkan sebuah kado istimewa dari Ibuk alm. Benar-benar dipersiapkan kado ini meskipun saya sudah tahu betul apa kado itu.
Yap … kado itu adalah kebaya. Sebuah tradisi kala itu setiap tanggal 21 April anak-anak dan para perempuan di saat itu memakai kebaya untuk acara seremonial peringatan hari Kartini. Anak-anak SD sampai SMA kala itu berdandan ke salon dan membuat berbagai macam perlombaan.
Saya antusias banget mengikutinya saat SD. Saya ingat sekali Ibu memberikan saya kebaya yang lumayan kedodoran berwarna merah cerah dari kain beludru. Pemikiran Ibuk saat itu kebaya merah beludru itu bisa dipakai untuk dua tahun. Jadi Ibuk lebih irit menjahitkan kebaya untuk saya.
Saat anak-anak yang lain pergi ke salon untuk menyanggul dan make up. Ibuk dengan telaten menyanggul dan merias wajah saya dengan tangan sendiri. sebelumnya Ibuk sudah mewiru kain jarit yang akan saya pakai dengan rapi supaya penampilan saya benar-benar seperti putri dari keraton di tanah Jawa.
Ada asesoris sirkam yang terpasang di atas ubun-ubun di mana rambut saya sudah disasak tinggi dan rapi. Tidak lupa selop warna hitam membuat saya merasa begitu berbeda.
Ibu menjahitkan kebaya janggan warna biru pada saat saya klas 3 SD. Di saat itu perayaan Hari Kartini sudah lebih meriah lagi. Ibuk pun tak mau kalah dengan para ibu lain merias anak-anak seusia saya. Kalau saat klas 1 dan 2 SD dandanan saya lebih sederhana. Dengan kebaya janggan warna biru toska yang mengkilap Ibuk tak hanya menyelipkan sirkam sebagai asesoris. Tapi Ibuk juga memasang cunduk mentul serupa suntiang
Untuk menambah cantiknya penampilan Ibuk pun meminjam satu cunduk mentul yang biasa dipakai oleh para pengantin Jawa untuk saya pakai beserta kalung asesoris susun tiga beserta sabuk berwarna keemasan. Sudah serupa dengan putri bangsawan zaman dulu kala bukan?
Ibuk, sekolah pertama dalam rumah
Buat saya, Ibuk adalah role model perempuan pertama yang menjadi teladan dalam kehidupan. Bagaimana peran perempuan dalam rumah tangga saya lihat dalam keseharian. Tentang komunikasi yang mengedepankan respect terhadap pasangan. Akan tetapi juga ketaatan pada tuhannya yang tercermin dari bagaimana Ibuk memperlakukan suami dan anak-anaknya.
Salah satu hal yang Ibuk tanamkan khususnya kepada saya sebagai anak perempuan pertama dalam keluarga. Perlunya seorang perempuan juga belajar mandiri. Ini bukan hanya perkara mandiri secara finansial. Akan tetapi belajar untuk tidak menggantungkan harapan atau kehidupan pada siapapun. Karena suatu saat jika hidup sendiri takkan menyusahkan orang lain.
Apa yang Ibuk katakan pada akhirnya diusahakan oleh beliau terutama saat Bapak meninggal. Dalam kondisi tak bekerja. Hanya mendapatkan pensiunan janda untuk menghidupi tiga anak. Ibuk tetap mendorong anak-anaknya untuk melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi.
Ibuk tak pernah mengeluh. Beliau juga tak mengemis perhatian dari siapapun dengan kondisi. Apalagi terkait dengan finansial. Kondisi prihatin seperti ini membuat Ibuk, saya dan adik-adik menjadi sedemikian dekat. Apapun kondisi kami bicarakan. Sehingga saat satu persatu kami lulus kuliah dan bekerja. Tak pernah sayang untuk membantu kondisi Ibuk. Kami, terutama saya tak mengenal apa yang saat ini dikatakan sebagai sandwich generation. Dalam pemikiran kami bahwa apa yang kami lakukan saat itu belum bisa membalas apa yang telah orang tua berikan. Sebuah kata yang kami sebut sebagai bakti anak kepada orang tua.
Ibuk dan Kesehatan
Ini mungkin satu-satunya perkara yang Ibuk lupakan. Meski tak 100 persen. Akan tetapi di masa-masa saya anak-anak sampai saya dewasa muda. Ibuk tak benar-benar memberikan saya pembelajaran bagaimana mengolah makanan secara sehat. Hampir 75% masakan yang Ibuk buat mengandung santan, lemak jenuh, gula dan berbagai olahan tepung.
Akibatnya saya dan adik-adik suka sekali dengan makanan manis dan berbahan tepung. Ngilernya saya dengan segala hal yang berbau cake & bakery. Suka banget dengan makanan-makanan yang diolah dengan deep fried. Sampai kemudian di usia 51 tahun Ibuk mengalami stroke pertama.
Dokter yang menangani Ibuk meminta saya untuk membuat menu-menu diet untuk menurunkan tekanan darah dan kolesterol yang tinggi. Saya yang waktu itu belum tahu apa-apa mengenai pola makan sehat jadi kebingungan. Mau tak mau akhirnya saya trial & error mencoba berbagai macam masakan tanpa menggunakan minyak, santan, dan mengurangi garam.
Tentu saja awalnya Ibuk protes dengan menu yang saya buat. Bahkan sempat merajuk untuk tak makan karena menu yang benar-benar berbeda rasa di lidah. Pelan-pelan saya jelaskan bahwa yang saya lakukan adalah anjuran dokter demi pulihnya kesehatan Ibuk. Lambat laun Ibuk pun bisa menerima itu meski hampir tiap hari ada aja komentar yang mampir ke telinga saya.
Tiga bulan pasca stroke akhirnya Ibuk bisa kembali berjalan. Belum sepenuhnya normal. Harus dengan alat bantu. Akan tetapi Ibuk sudah mulai mandiri dalam segala kegiatan yang ada dalam rumah. Titik balik dalam hidup Ibuk. Beliau sadar akan kesehatan.
Meski berjalan dengan tertatih. Ibuk berusaha untuk rutin jalan pagi. Awalnya saya temani. Rute-rute pendek saja sekitaran rumah. Sampai kemudian Ibuk percaya diri untuk memperjauh rute jalan pagi. Alhamdulillah, dengan rutin berolahraga pagi Ibuk bisa kembali berjalan secara normal. Ibuk pun percaya diri untuk berolah raga sendiri.
Setelah itu, Ibuk pun sudah mulai mandiri. Jika tak suka dengan apa yang saya masak, beliau akan memasak sesuai selera sendiri. Di masa itu, Ibuk sungguh berhati-hati dalam mempersiapkan makanan yang beliau konsumsi. Lodeh yang merupakan masakan favorit beliau skip sendiri. saat bulan Ramadhan sebelumnya di mana kolak selalu ada di di meja makan pun beliau tinggalkan. Beliau ganti dengan setup buah dan mengurangi kadar gulanya.
Sejak saat itu, kami anak-anak Ibuk mulai aware terhadap pola makan. Meski tak bisa sepenuhnya meninggalkan minyak, tepung maupun gula. setidaknya kami memperbanyak sayuran dan menghindari untuk menggoreng lauk dengan minyak dalam jumlah banyak. Jika sangat ingin makan gorengan pun membuat sendiri dalam jumlah yang terbatas. Sebisa mungkin tak menyiapkan kerupuk atau kletikan yang disiapkan di rumah. Sebagai gantinya kami menyiapkan buah yang kami petik dari belakang rumah seperti pepaya dan jambu biji. Alhamdulillah ... kesehatan Ibuk dan kami pun cukup terjaga.
Di luar itu, ternyata Ibuk mempersiapkan kehidupan akhiratnya. Tak melulu memikirkan dunia. Kata Ibuk dunia itu hanya sementara. Apalagi bagi Ibuk yang pernah mengalami serangan stroke. Bisa jadi karena tekanan darah atau kolesterol beliau. Sewaktu-waktu bisa saja Allah memanggil, begitu kata Ibuk.
Ibuk dan kehidupan setelah dunia
Kehidupan Ibuk setelah serangan stroke memberikan Ibuk sebuah kesadaran baru. Di luar berusaha untuk hidup sehat dengan asupan gizi seimbang dengan pengolahan yang tepat. Olah raga teratur setiap hari. Ibuk juga mempersiapkan kehidupan setelah dunia tak lagi beliau genggam.
Berbagai kajian beliau ikuti. Dalam satu minggu mungkin ada empat kelompok kajian yang beliau ikuti. Hal itu ternyata memberikan semangat baru. Ibuk juga aktif dalam kegiatan sosial keagamaan. Ternyata bertemu dengan orang banyak memberikan Ibuk keceriaan baru. Merasa lebih berdaya dan lebih mandiri sebagai perempuan karena tak sepenuhnya harus tergantung pada saya.
Ibuk pun tak sekadar mengikuti kajian. Akan tetapi Ibuk benar-benar mengimplementasi agama dalam kehidupan sehari-hari. Shalat wajib begitu tepat waktu. Puasa sunnah Senin Kamis dan Ayamul Bidh beliau laksanakan. Shalat Sunnah setiap hari dilakukan. Membaca Al Quran rutin beliau lakukan setelah shalat wajib maupun sunnah. Tak ketinggalan memperbanyak infak dan shadaqah semampu beliau.
Ibuk benar-benar mempersiapkan diri. Tawakal, bahwa Ibuk benar-benar mengusahakan mencari bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Berpasrah akan kehendak Allah kapan saja Allah inginkan.
Ibuk tak hanya menyiapkan diri untuk berpulang. Akan tetapi Ibuk juga mempersiapkan saya untuk ditinggalkan. Hingga saat Ibuk benar-benar berpulang. Meski sakit luar biasa. Saya tahu perpisahan saya dengan Ibuk sedemikian indah. Membisikkan kalimat tauhid di telinga. Saya menemani beliau sampai napas terakhir.
Untuk mengenang perempuan terbaik dalam hidup saya. Sebuah buku saya tulis untuk beliau. Bukan sekadar release sebuah kehilangan. Akan tetapi rollercoaster kehidupan beliau sangat layak untuk dibagikan pada banyak orang. Tak hanya saya simpan sendiri dalam kenangan.
Ibuk, sekolah pertama bagi saya. Teladan dalam seluruh kehidupan saya. Memang bukan ibu yang sempurna. Akan tetapi ketidaksempurnaannya merupakan bukti bahwa beliau adalah mahluk dan hamba Allah. Manusia yang selalu berusaha untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.